Bioetanol di Tengah Keraguan: Siapkah Indonesia Beralih ke Bahan Bakar Nabati?
Pembahasan soal campuran bensin dengan etanol dan penggunaannya untuk mobil
Di tengah desakan global untuk transisi energi dan kebutuhan untuk mengurangi jejak karbon, Indonesia kini tengah mengambil langkah signifikan dengan mempersiapkan peluncuran bahan bakar nabati (biofuel), khususnya bensin dengan campuran etanol. Inisiatif ini tidak hanya menandai era baru dalam sektor energi domestik, tetapi juga memposisikan Indonesia lebih dekat dengan target keberlanjutan lingkungannya.
KEY TAKEAWAYS
Apa itu bioetanol dan bagaimana cara kerjanya sebagai bahan bakar?
Bioetanol adalah bahan bakar yang dihasilkan dari fermentasi bahan nabati seperti tebu atau jagung. Campuran etanol dengan bensin, seperti E10, bisa mengurangi emisi CO₂ tanpa perlu modifikasi besar pada mesin kendaraan.Apakah kendaraan di Indonesia siap menggunakan bahan bakar bioetanol?
Sebagian besar kendaraan modern sebenarnya sudah kompatibel dengan campuran bioetanol ringan (E10). Tantangan terbesar justru ada di infrastruktur distribusi dan produksi bahan bakar itu sendiri.Sayangnya, di tengah kekacauan komunikasi serta turunnya kepercayaan masyarakat terhadap operator bahan bakar, sisi positif dan juga kelebihan bahan bakar biofuel tenggelam dalam ketidakjelasan. Beruntung, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menganggap perlu adanya edukasi terkait biofuel. Sebagai manufaktur otomotif besar di Tanah Air, Toyota jadi salah satu yang siap dengan kehadiran bahan bakar nabati ini apabila akan diresmikan di kemudian hari.
Dalam kesempatan bersama media nasional, Toyota membawa praktisi Ronny Purwadi – peneliti dan dosen teknik kimia Fakultas Teknologi Industri ITB serta Iman K. Reksowardojo – Chairman of Indonesian Society Fuel Engineers yang juga Ketua Senat Universitas Pertamina, untuk berbagi ilmu terkait biofuel. Kedua nama ini sudah dikenal sebagai peneliti yang berkecimpung pada bahan bakar alternatif serta hasil penelitiannya digunakan pada berbagai aturan internasional terkait biofuel.
Awal Mula Biofuel
Biofuel utamanya dengan etanol sebenarnya bukan barang baru di dunia otomotif. Sejarah penggunaannya sudah dimulai bahkan sejalan dengan sejarah industri otomotif itu sendiri. Ronny menjelaskan, awal mula Ford Model T telah menggunakan bahan bakar etanol sejak mula-mula. Bahan bakar alternatif yang juga disebut flexi fuel ini saat itu digunakan dengan kepercayaan akan menjadi bahan bakar masa depan.
“Tapi seiring berjalannya waktu, penemuan bahan bakar fosil, juga kepopulerannya, membuat bahan bakar etanol menjadi lebih mahal. Ini digantikan dengan bahan bakar fosil yang berlanjut hingga saat ini,” papar Ronny dalam penjelasannya beberapa waktu lalu.
Ronny melanjutkan, seiring berjalannya waktu, dunia mengalami kenaikan harga bahan bakar fosil. Ini terjadi di medio 70-an. Dunia akhirnya mengalami kelangkaan minyak. Kondisi inilah yang membuat berbagai negara kembali melirik biofuel.
Salah satunya Swedia dan juga Brazil yang dikenal dengan penggunaan bahan bakar etanolnya. Brazil misalnya, penggunaan bahan bakar etanolnya mencapai konsentrat tinggi, hingga etanol murni alias E100. Ini karena saat krisis bahan bakar, mereka berani memanfaatkan industri tebu yang diolah untuk menjadi bahan bakar dan didukung dengan keseriusan pemerintahnya untuk tidak bergantung pada bahan bakar fosil yang tidak dimiliki.
“Tapi kondisi ini juga yang memperlihatkan isu biofuel selalu naik turun. Misal saat bahan bakar minyak mahal, orang-orang berbondong melirik biofuel. Saat harga bbm fosil turun, keberadaannya dilupakan,” papar Ronny menjelaskan terkait isu etanol yang tengah naik belakangan ini.
Alternatif Capai Target Emisi
Indonesia, juga negara lain, tengah menargetkan penurunan angka emisi. Ini dilakukan dengan berbagai strategi, salah satunya penyebaran bahan bakar alternatif. Ronny menjelaskan, flexifuel memiliki beberapa keunggulan.
Keseluruhan proses produksi etanol bisa dikatakan lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan proses pembuatan bahan bakar fosil. Lebih jauh, hasil pembakaran etanol yakni karbon dioksida, akan diserap tanaman yang nantinya akan diolah menjadi etanol, dan seterusnya. Intinya tidak ada penambahan karbon di udara dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil.
“Misal bicara target emisi Indonesia beberapa tahun ke depan, penggunaan dengan biofuel lebih masuk akal. Saat ini yang sudah berjalan adalah biodiesel, sayangnya konsumsi diesel itu tidak sebanyak bensin,” ucap Ronny.
Lebih jauh, Ronny menjelaskan beberapa karakter bioetanol. Bahan bakar ini cair dan tidak berwarna dengan bau khas alkohol, massa jenisnya 0,789 g/ml, titik didih 78,37 derajat Celcius dengan panas pembakaran 29,7 MJ/kg. Etanol juga disebutkan tidak beracun, emisi karbonya lebih rendah, tidak meninggalkan residu kabon padat serta memiliki nilai oktan rata-rata 108-113. Terakhir, etanol sangat larut dalam air dan mudah menyerap air.
Menjawab Keraguan
Karakter etanol yang terakhir ini yang belakangan banyak dibahas masyarakat. Setelah kadung kecewa dengan operator bahan bakar yang melakukan pengoplosan, masyarakat yang belum sembuh kekecewaannya dihadapkan dengan rencana penggunaan etanol. Ini yang membuat berbagai keunggulan penggunaan etanol tenggelam.
Ronny menjelaskan, ada dua jenis etanol yang dikenal. Pertama hydrous etanol yakni etanol dengan kadar air 4-7 persen (93-96 persen etanol). Jenis ini dapat digunakan langsung di kendaraan flexy-fuel, seperti di Brazil, dengan harga yang lebih murah dari bahan bakar fosil.
Kedua ada anyhdrous etanol dengan kemurnian tinggi lebih dari 99,5 persen. Jenis ini umum digunakan sebagai bahan bakar substitusi dengan kadar bervariasi serta kadar air rendah agar etanol tidak terpisah dari gasoline.
Lantas apakah artinya etanol nantinya dapat menyebabkan korosi, baik pada tangki bahan bakar maupun ke mesin? Ronny menjelaskan, meski memiliki sifat yang dekat dengan air, higroskopis bukan berarti korosi. Untuk membuat korosi, memerlukan syarat-syarat tertentu.
Ronny mengumpamakan dengan tumbler tempat pengisian air minum. Sebagai tempat penyimpanan air, dan digunakan berulang-ulang, tidak menyebabkan korosi. Ini karena sudah ada penerapan perlindungan dengan material khusus. Jadi masalahnya bukan pada cairan, namun pada material tempat penyimpanannya.
“Ini tidak terekspor sehingga orang berpikir sifat higrosjkopis etanol menyebabkan korosi. Belum tentu. Higroskopis etanol kan menyerap air tidak banyak, sedangkan yang jelas kontak dengan air tidak selalu karatan, itu yang mungkin kita harus fair dalam mengamati. Kembali, kita lihat kendaraannya dibuatnya dari apa. Jika kendaraan sudah dibuat untuk menerima bioetanol, pasti tidak masalah,” ucap Ronny.
Iman Reksowardojo juga menambahkan, perhatian mungkin diberikan pada kendaraan tua atau produksi lama. Pada kendaraan modern, atau baru keluaran 2000-an ke atas, sudah aman mengkonsumsi BBM dengan campuran 10 persen alias E10.
“Harusnya masyarakat tidak perlu khawatir. Kendaraan baru tidak masalah karena sudah dirancang untuk itu (biofuel). Kalau yang lama kemungkinannya bisa macam-macam. Motor keluaran baru lebih maju teknologinya karena mereka sudah pakai 3 way catalyst untuk menurunkan emisi gas buang,” ucap Iman.
Menurut Iman, mobil tua pun cukup sederhana penanganannya untuk dapat menerima bioetanol. Biasanya dilakukan pengaturan pada pengapian atau mengganti gasket. Jadi masalahnya bukan melulu teknis namun non teknis.
“Bagian lain yang perlu diperhatikan saat penggunaan bioetanol antara lain di area pompa bahan bakar. Biasanya pakai membran karet, tapi itu tinggal diganti dengan bahan yang tidak terpengaruh etanol. Sisanya tidak ada,” ucap Iman.
Siap Gunakan Etanol?
Ini merupakan sebuah pertanyaan besar, melihat kondisi baru-baru ini. Baik Iman maupun Ronny satu suara. Indonesia belum siap untuk tiba-tiba menggunakan bioetanol dan berharap transisi dilakukan secara bertahap.
“Penerapan E10 adalah langkah yang baik guna membantu menekan emisi, namun harus diiringi dengan penataan yang rapi. Salah satu sorotan adalah industri etanol yang diharapkan tidak bergantung pada impor. Misal kita bicara, apakah tahun depan siap? Rasanya belum,” ungkap Ronny.
Pembuatan etanol memerlukan biaya besar, dan saat ini sebenarnya sudah diproduksi melalui produsen lokal. Namun bila pemberlakuan E10 dilakukan tergesa-gesa, ditakutkan industri etanol dalam negeri tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut yang akhirnya akan beralih menggunakan material impor.
Soal impor ini, Ronny menerangkan, biaya yang dikeluarkan jelas lebih rendah. Mendatangkan bahan dari luar negeri didukung dengan berbagai kebijakan keringanan tarif juga produksi dari beberapa negara penghasil etanol yang sudah matang. Ini pastinya berdampak negatif pada keinginan memperbesar produksi etanol di dalam negeri yang diharapkan membawa multiplier effect.
Ini sebabnya perencanaan produksi etanol harus dilakukan sejak pengolahan tanaman, entah itu tebu maupun kelapa sawit. Kualitas harus terpenuhi, pabrik harus efisien. Jangan sampai produksi ini membebani produsen hingga berakibat pada gagalnya rencana biofuel tersebut.
Iman juga senada. Paling penting saat ini pemerintah menyusun roadmap yang jelas, realistis dan terukur. Terlebih soal konsistensi pelaksanaan roadman dibandingkan sekedar pencanangan target.
“Jangan tiba-tiba langsung E10. Butuh waktu, insentif fiskal, dan regulasi mendukung,” ungkap Iman.
Meski demikian, kedua peneliti itu berharap cita-cita dan keinginan pemerintah ini tidak langsung padam. Seperti keberhasilan biodiesel mencapai B40, pemanfaatan bioetanol bisa jadi jawaban untuk tren penurunan emisi. Di Asia Tenggara, beberapa negara sudah berupaya menggunakan bahan bakar nabati. Indonesia, dengan sumber daya yang melimpah, diharapkan dapat mengikuti tren ini dengan rencana yang jelas dan terukur.
Sisi Produsen
Ramai-ramai bahan bakar alternatif ini juga jadi perhatian produsen. Toyota misalnya, mengaku produk-produknya sudah siap apabila pemerintah memberlakukan aturan bahan bakar bioetanol. Ini dikarenakan produk Toyota produksi Indonesia, juga dijual ke berbagai negara yang menggunakan biofuel.
“Kendaraan itu kan produk global. Di beberapa negara memang sudah isi etanol sehingga kendaraannya sudah siap untuk itu. Toyota sendiri yang di atas 2015 atau 2010 bisa E10, beberapa bahkan sampai E20,” ucap Bob Azam, Wakil Presiden Direktur TMMIN di kesempatan yang sama.
Bob menjelaskan, soal alternatif bahan bakar ini sebenarnya sudah lama dipersiapkan produsen Jepang. Di Negeri Matahari Terbit itu bahkan sudah ada produk yang bisa menggunakan etanol hingga 100 persen lewat produk Flexy Fuel mereka.
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa produk yang tertulis mampu menerima jenis bahan bakar E10. Salah satunya Kijang Innova Zenix Hybrid. Kemampuan ini juga sudah tertera di buku manual terkait jenis bahan bakar yang bisa digunakan.
Berdasarkan ulasan mendalam mengenai bioetanol sebagai strategi energi Indonesia, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan bakar nabati adalah keharusan yang tak terelakkan dalam upaya mencapai target penurunan emisi dan kemandirian energi. Bioetanol, yang memiliki siklus karbon lebih bersih dan nilai oktan tinggi, merupakan alternatif masuk akal untuk mendekarbonisasi sektor transportasi bensin, mengikuti jejak sukses global seperti Brazil.
Namun, transisi menuju implementasi wajib seperti E10 tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Para ahli dan pelaku industri, seperti Toyota, menegaskan bahwa kekhawatiran masyarakat—terutama isu korosi—sebenarnya adalah masalah non-teknis yang dapat diatasi, mengingat kendaraan modern sudah siap menerima campuran etanol. Tantangan terbesar saat ini adalah pada aspek non-teknis, yakni perlunya komunikasi yang transparan, penyusunan peta jalan (roadmap) yang realistis dan terukur oleh pemerintah, serta pemberian insentif fiskal yang memadai agar industri etanol dalam negeri dapat tumbuh mandiri tanpa bergantung pada impor.
Dengan perencanaan yang matang, konsistensi kebijakan, dan dukungan penuh industri hulu hingga hilir, cita-cita menjadikan bioetanol sebagai jawaban atas tren penurunan emisi di Indonesia dapat tercapai secara berkelanjutan. (STA/TOM)
Baca juga:
Japan Mobility Show 2025 Bakal Jadi Panggung Transformasi bagi Toyota
Suzuki Fronx Flex Fuel Siap Tampil di JMS 2025, Saat Indonesia Ribut Soal Etanol
Jual mobil anda dengan harga terbaik
Pembeli asli yang terverifikasi
GIIAS 2025
Tren & Pembaruan Terbaru
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
Mobil Pilihan
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Mobil Terbaru di Oto
Artikel Mobil dari Carvaganza
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature