Insentif Pajak Mobil Listrik Impor Berakhir 31 Desember 2025
Pemerintah hentikan skema keringanan CBU BEV, dorong industri otomotif nasional menuju ekosistem manufaktur berkelanjutan
Pemerintah akan mengakhiri program insentif pajak untuk mobil listrik impor dalam bentuk utuh (CBU) mulai 31 Desember 2025. Kebijakan ini, diatur dalam Peraturan Menteri Investasi Nomor 6 Tahun 2023 jo. Nomor 1 Tahun 2024, menandai pergeseran fokus pemerintah dari sekadar menarik minat pasar ke pembangunan ekosistem produksi di dalam negeri.
KEY TAKEAWAYS
Kapan insentif pajak mobil listrik impor CBU berakhir?
Program insentif resmi dihentikan pada 31 Desember 2025 sesuai regulasi yang berlakuApa dampak insentif CBU terhadap industri lokal?
Menurunnya utilisasi pabrik, terganggunya industri komponen, dan terjadinya PHK di beberapa perusahaanInsentif sebelumnya memberikan kelonggaran signifikan bagi impor mobil listrik CBU. Bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), keduanya 0 persen. Dengan demikian, importir hanya perlu membayar pajak 12 persen dari total pajak normal 77 persen. Namun, fasilitas ini diberikan dengan komitmen produksi lokal 1:1, yang harus dilunasi hingga 31 Desember 2027. Jika komitmen ini tidak dipenuhi, bank garansi akan diklaim oleh pemerintah.
Menurut data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), program insentif impor ini terbukti berhasil meningkatkan populasi kendaraan listrik di Indonesia. Populasi kendaraan listrik mencapai 207 ribu unit pada 2024, naik 78 persen dari 116 ribu unit pada 2023. Pangsa pasar BEV melonjak tajam dari 0,08% pada tahun 2021 menjadi 9,7% pada periode Januari-Juli 2025, mencerminkan adanya pergeseran preferensi konsumen.
Populasi BEV Naik, Industri Lokal Tertekan
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengakui, insentif BEV impor dalam rangka tes pasar sukses meningkatkan adopsi kendaraan ramah lingkungan di Indonesia. Tetapi, hal ini menekan kinerja industri yang sudah lama eksis.
Pihaknya mencatat penurunan utilisasi pabrik mobil dari 73 persen menjadi 55 persen pada 2024. Ini dipicu oleh masuknya mobil impor yang menekan produksi lokal. Industri komponen pun ikut terganggu, bahkan beberapa perusahaan telah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di titik ini, harus ada kebijakan untuk menciptakan keseimbangan industri otomotif. Intinya, insentif yang dirilis harus menggerakkan semua pemain otomotif, entah itu ICE, HEV, BEV, hingga industri komponen.
Kalangan akademisi menyetujui, insentif BEV impor sejatinya diakhiri. Sebab, insentif ini mendistorsi kinerja pemain BEV yang sudah membangun industri di Indonesia.
Nilai tambah insentif BEV ke ekonomi juga rendah, karena hanya menyasar sektor perdagangan, bukan industri. Padahal, sektor manufaktur mobil yang selama ini menghasilkan nilai tambah tinggi.
Dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) 'Polemik Insentif BEV Impor', Gedung Kementerian Perindustrian, Senin (25/8). Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyatakan bahwa kehadiran BEV impor telah mengganggu keseimbangan industri yang sudah ada, khususnya bagi produsen mobil dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) tinggi, yakni 80-90 persen.
Hal serupa disampaikan oleh Riyanto, Peneliti senior dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI. Ia menilai bahwa insentif impor BEV CBU hanya berdampak pada sektor perdagangan, yang efek gandanya jauh lebih kecil dibanding sektor manufaktur.
Menurutnya, perpanjangan insentif ini menghambat target produksi BEV lokal sebesar 400 ribu unit pada 2025 dan tahun-tahun berikutnya. Ia menegaskan, kebijakan yang tidak konsisten ini dapat merusak kredibilitas pemerintah dan iklim investasi.
TKDN Jadi Syarat Utama
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan (ILMATAP) Kemenperin, Mahardi Tunggul Wicaksono, menegaskan belum ada rapat antar kementerian terkait kelanjutan insentif impor BEV.
“Artinya, bisa kita bilang insentif BEV impor akan berakhir pada 31 Desember 2025, sesuai regulasi yang ada,” ujar Tunggul dalam diskusi bertajuk Polemik Insentif BEV Impor yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin) di Jakarta, Senin (25/8/2025).
Ia juga menyatakan, pemerintah tetap berpegang pada regulasi yang ada. Berdasarkan regulasi tersebut, pemain BEV harus memenuhi persyaratan TKDN sebesar 40 persen pada 2026, 60 persen pada 2027, dan 80 persen pada 2030. Oleh karena itu, skema Completely Knock Down (CKD) dan Incompletely Knock Down (IKD) harus mulai dijalankan.
Beberapa peserta program impor CBU dengan komitmen investasi meliputi BYD, Aion, Maxus, Vinfast, Geely, Citroen, VW, Xpeng, dan Ora. Sementara itu, pemain yang berpartisipasi dalam skema produksi sesuai TKDN antara lain Wuling, Chery, Aion, Hyundai, MG, dan Citroen. Hingga kini, enam perusahaan telah berpartisipasi dalam program insentif CBU, dengan total rencana investasi sebesar Rp15 triliun dan penambahan kapasitas produksi 305 ribu unit.
Baik Gaikindo maupun akademisi merekomendasikan agar insentif BEV CBU tidak diperpanjang. Mereka mendesak pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang adil dan proporsional, yang mendukung seluruh industri otomotif, dari ICE, HEV, hingga BEV, agar dapat tumbuh bersama-sama. Tujuannya jelas, agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, melainkan pusat produksi BEV di kawasan. (BGX/ODI)
Baca Juga:
Perang Harga EV di Cina Kian Meresahkan, Pemerintah Turun Tangan Tegur Pabrikan
Populix dan Forwot Bahas Tantangan EV Nasional, Infrastruktur dan Interoperabilitas Jadi Sorotan
Cara Curang Dongkrak Penjualan, Mobil Baru 0 Km Dijual Jadi Barang Bekas di Cina
Jual mobil anda dengan harga terbaik
Pembeli asli yang terverifikasi
GIIAS 2025
Tren & Pembaruan Terbaru
- Terbaru
- Populer
Anda mungkin juga tertarik
- Berita
- Artikel feature
Mobil Pilihan
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Video Mobil Terbaru di Oto
Artikel Mobil dari Carvaganza
Artikel Mobil dari Zigwheels
- Motovaganza
- Tips
- Review
- Artikel Feature